Dia menatapku, lagi.
Matanya memancarkan kesedihan bahkan meskipun ia tidak meneteskan air mata. aku tau dia terluka, tapi matanya dengan mudah menjelaskan semuanya.
Matanya memancarkan kesedihan bahkan meskipun ia tidak meneteskan air mata. aku tau dia terluka, tapi matanya dengan mudah menjelaskan semuanya.
Akhirnya aku mendekatinya, duduk berhadapan dengannya. ia hanya melihatku, tanpa bersuara sedikitpun. Dia masih terus menatapku tepat dikedua mataku. Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaanku sendiri; apa yang membuatnya membisu seperti ini?
Lalu dia menunduk, perlahan matanya mulai membasah. Tapi dia tidak menangis. Dia hanya menunduk, dalam diamnya, dalam keheningannya. Kurasa dia sudah lelah menangis. Karena dari matanya, dia menjelaskan padaku betapa muaknya dia dengan keadaannya. Kurasa dia hanya ingin sendiri, hanya ingin menikmati kesunyian, hanya ingin berdansa dengan kesenduan, hanya ingin bernyanyi dengan keheningan.
Kurasa dia masih sanggup melewati setiap babak dalam episode kehidupannya, karena jauh sebelum hari ini, dia sudah menjadi sangat kuat. Dia sudah melewati lebih banyak fase kehidupan yang menjatuhkannya.
Lalu aku berdiri, tidak ingin membuatnya semakin terhanyut, aku membalikan tubuhku dan tersenyum yakin bahwa dia mampu mendapatkan oase ditanah keringnya babak kehidupan saat ini.
Comments
Post a Comment