Skip to main content

Kebun Teh Terakhir - Contest Version

Rasanya baru kemarin aku mendapat belaian lembut tangannya yang menyentuh ujung kepalaku, baru kemarin juga rasanya aku menggenggam jemari tangannya yang lebih panjang dan besar dariku, baru kemarin dia berdiri di hadapanku dan mencium keningku, bahkan baru kemarin juga rasanya dia hadir di sampingku dan membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Aku merasa baru kemarin aku bertemu dengannya. Entah harus ku sebut itu mimpi burukku yang indah atau... Ah aku tidak tahu.

Kemarin malam, mendung menyelimuti langit yang biasanya penuh dengan bintang saat dia berada disampingku. Dia menatapku dengan pandangan yang sangat ku rindukan -setelah hampir tiga minggu aku tak bertemu dengannya-. Matanya yang sayu menatapku tajam. Lama. Hingga akhirnya aku tak sanggup untuk bertahan, lalu ku alihkan pandanganku. Aku tahu, banyak yang ia ingin ucapkan padaku tapi entah bagaimana, seolah aku tahu pula bahwa ia-pun merasa enggan mengutarakannya. Kami hanya terjebak dalam kebisuan dan kesunyian pikiran kami masing-masing.

Lalu ku pandangi lagi ia dari ujung rambutnya hingga ujung kakinya. Dia nampak kacau, seolah dia sedang menghadapi berbagai persoalan yang berkecamuk di hadapannya. Lagi-lagi, aku merasa tak sanggup untuk menatapnya. Aku merasa turut andil dengan keadaannya sekarang. Dia, laki laki yang aku cintai itu menghujamkan seluruh pandangannya tepat di tengah pupilku yang berusaha mencari kedamaian di dalam dirinya. Laki-laki yang ku panggil Dio itu masih terus memaksaku -lewat pandangan matanya- untuk menjawab pertanyaannya. Matanya menunjukkan bahwa ia tidak lagi ingin menunggu terlalu lama. Matanya memancarkan sinar harapan yang begitu mendalam sehingga akupun menjadi tidak sanggup untuk menolaknya.

"Jawab aku sekarang, Re" ulangnya. Aku sungguh tak ingin melihat matanya. "Re..." panggilnya lagi. Tiba-tiba pandangan mataku mengabur, semua penglihatanku menjadi buram. Tidak, aku tak ingin menangis. Dio menarikku dalam pelukannya dan membiarkan aku hanyut dalam tangisku. Sungguh, aku sangat ingin saat ini tak pernah berakhir. Aku masih tidak ingin melepas diriku. Tapi aku tersadar bahwa kenyataan sering kali tak sesuai dengan harapan. Dan ketika aku berkata, "Aku sangat menyayangimu, sungguh.." saat itu juga harus ku relakan Dio menarik pelukannya dariku. "Begitu pula denganku. Tapi aku ikhlas jika memang dia yang jauh lebih baik. Memang dulu kesalahanku yang lebih memilih Audri dan meninggalkanmu, jika kamu berusaha untuk move on lalu pergi, aku akan mencoba ikhlas. Aku hanya ingin membahagiakanmu lagi dan menjadi yang terbaik untukmu, Re." jawabnya.

Pikiranku kacau, entah yang Dio ucapkan itu benar atau tidak, aku tak pernah tahu. Dio, laki-laki yang sangat kucintai -bahkan sampai sekarang- ini kembali datang dihadapanku tiga bulan setelah dia meninggalkanku untuk pergi pada Audri, kekasihnya dahulu. Pada saat itu, aku sungguh merasa kecewa dan sakit hati. Bagaimana tidak, Audri sebelumnya adalah temanku, dia selalu meyakinkan aku bahwa memang antara dia dan juga Dio sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan aku mempercayainya. Aku percaya karena aku pikir Audri adalah temanku. Namun kenyataan berkata lain. Karena hal itulah, bukan hanya rasa kehilangan yang cukup mendalam setelah bertahun-tahun kuhabiskan waktu bersama Dio, namun juga rasa kecewa atas pengkhianatan yang dilakukan Audri padaku.
Berkali-kali kucoba bangkit dan perlahan berjalan menjauh dari harapan kembali bersama Dio, namun berkali-kali juga aku terus merindukannya. Tapi Tuhan memperlakukanku dengan adil, Ia mempertemukan aku kembali dengan Radith, teman lamaku dan membuat kami –aku dan Radith- merasa jatuh cinta lagi. Namun tak bisa aku pungkiri, perasaanku untuk Dio masih tersimpan walau hanya sisa. Hanya saja, kini aku benar-benar berusaha menjalani semuanya dari awal dan tidak pernah berniat untuk membuat Radith menyesal dan kecewa telah memilihku.

Namun malam ini, semua berubah. Aku tidak lagi bisa menjamin ucapan dan komitmenku terhadap Radith. Kehadiran Dio dihadapanku sekarang benar-benar meragukanku atas perasaan yang ada untuk Radith. Aku diambang kebingungan dengan komitmenku, namun aku tidak ingin menjadi munafik. Aku masih terlalu mencintainya. Ya, Dio. Lelakiku yang sudah menghancurkan cintaku. Lelakiku yang telah mengajariku kesetiaan dalam empat tahun terakhir berkomitmen dengannya. Aku menghargai keberadaan Radith saat ini dan ku pikir, aku sudah tidak perlu mengkhawatirkan segala sesuatunya saat Radith telah memilihku. Namun berpuluh-puluh menit berlalu dan hujan mulai turun perlahan sehingga membuatku tak tega untuk membiarkan Dio menungguku diluar.

Dan sekarang, Dio telah berdiri di hadapanku. Dia berlutut padaku. Lalu perlahan memelukku dan sambil menangis, ia berkata, "Aku sungguh mencintaimu dan aku menyesal. Mungkin waktu itu aku hanya sekedar merindukan Audri dan salah mengartikan atas apa yang aku rasakan terhadapnya. Tapi bagaimanapun keputusanmu, aku akan ikhlas jika memang bukan aku yang kamu pilih. Karena apapun yang terjadi saat ini adalah kesalahanku yang telah mengecewakanmu." Pandangan mataku kembali mengabur saat melihat ia hendak berdiri dan meninggalkanku. Kutarik tangannya perlahan dan ku bisikan lembut padanya, "Perlu kamu tahu satu hal, aku jauh lebih mencintaimu... Tapi maaf, aku tidak mungkin membuatmu dan Radith menjadi pilihan. Sekarang, biarkan kita berjalan dijalur yang berbeda." Lalu Dio menarik tubuhku dan memelukku dengan erat. "Maaf. Maaf telah membuatmu meragu. Aku yang akan pergi."

Siang ini, ditempat dimana aku berdiri lemas, langit tampak mendung. Seolah berusaha menyampaikan bahwa ia-pun merasakan hal yang sama. Seketika gerimis mulai turun perlahan. Aku menyisiri jalan dan tampak olehku keheningan. Aku menengadah, berusaha menangkap air yang turun tanpa ampun dari langit. Sambil berteduh dibawah pohon yang menaungiku dari gerimis yang berubah menjadi hujan yang cukup lebat, aku menghidupkan kembali player-ku dan ku pilih musik instrumental yang sering kali ku nikmati di tempat ini untuk kembali ku dengarkan di tempat dan suasana yang sama. Dulu, aku kesini bersama dengan Dio. Ya, Dio-ku yang telah mengikhlaskanku untuk meninggalkannya. Sekarang juga begitu, Dio hadir diantara kami, aku dan Radith. Perlahan hujan mulai mereda dan matahari mulai bersiap menggantikannya.

"Aku akan membiarkanmu berbicara banyak dengannya" ujar Radith hendak meninggalkanku bersama Dio. "Tidak, aku ingin kamu mendengarkan pembicaraanku dengannya agar tak ada lagi salah paham. Agar kamu mengerti bahwa diantara kami memang sudah tak ada apa-apa lagi." jawabku sambil menarik tangan kokohnya. Aku hanya ingin membuat Radith mempercayaiku. Dio hanya diam. Ya, seperti biasanya dia enggan berkomentar banyak. "Dio, aku akan mengenalkanmu pada Radith. Ia yang membawaku pada kebahagiaan, ia yang mengajarkanku bagaimana caranya berdiri saat aku jatuh, dan ia juga yang telah mengubah cerita dalam hidupku..." aku menarik napas panjang dan Dio masih dalam diamnya.

"... Kali ini aku berada disampingnya agar kamu tahu, dia sanggup menggantikanmu yang dulu pernah begitu lama berada disampingku. Maaf jika aku membuatmu kecewa, tapi kamu tak pernah merasakan bagaimana menjadi aku, kamu tidak pernah mempedulikan bagaimana perasaanku saat itu. Saat kamu memilih Audri dan begitu saja meninggalkanku." Pandanganku mulai mengabur. Radith menepuk punggungku dengan lembut dan itu membuatku semakin tenang.
"Dio, dari dulu aku tau kamu mencintai kebun teh. Bahkan sampai sekarangpun, tempat inilah yang menjadi tujuanmu bukan?" Dio masih diam. "Aku tak ingin membuatmu semakin sulit, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sekarang bahagia dan ini pilihanku. Terima kasih Dio untuk empat tahun terakhir. Kita telah memilih jalan ini dan kuharap memang ini yang terbaik. Doakan aku atas pilihanku dan aku juga akan mendoakanmu..." ujarku sambil menyerahkan untaian bunga peonies–yang biasa ia berikan padaku-  yang masih segar untuknya.

Aku dan Radith berjalan menjauh dari nisan yang bertuliskan nama: Ardio Lazuardi Pratama. Aku masih tak percaya, kanker hati yang selama ini diderita oleh Dio mampu merenggut nyawanya. Beberapa minggu belakangan setelah ia memintaku kembali padanya, ia memang sering mengeluh padaku, namun aku tidak menggubrisnya. Ah betapa menyesalnya aku. Dan aku semakin menyesal saat aku tahu alasan Dio meninggalkanku hanya karena ia menginginkanku mencari kebahagiaanku sendiri sebelum ia benar-benar ‘pergi’ dariku dan Audri hanya alasannya saja agar ia bisa menjauhiku. Ia hanya tidak ingin aku menangisinya saat ia pergi. Begitulah isi surat yang telah ia titipkan pada mamanya, yang sudah lama kukenal.

Semilir angin yang berhembus dingin menusuk tulangku. Aku semakin merapatkan genggamanku kepada Radith. Daun-daun memainkan alunan ketenangannya seolah menggantikan Dio yang berusaha menenangkan. Kebun teh ini menjadi tempat yang nyaman untuk Dio memulai sebuah kehidupan dimana ia tak perlu merasakan sakit akibat kanker yang dideritanya itu. Sungguh, tempat ini memiliki banyak cerita didalamnya tentang pertemuan sekaligus perpisahanku dengan Dio. Tempat ini memiliki banyak keistimewaan bagi Dio dan khusunya bagiku.

Aku semakin berjalan menjauh dan ku toleh lagi kebelakang. Pelahan tempat perisitirahatan Dio mulai hilang dari pandanganku. Aku merasa enggan meninggalkan Dio sendiri. Tapi entah bagaimana, aku merasa Dio tahu bahwa aku memang benar-benar mencintainya bahkan sampai detik ini, ketika Radith telah berada tepat disampingku, sebut aku jahat ataupun munafik, tak apa. Karena yang paling kutahu, Dio memang tidak akan tergantikan.

Comments