Dia kembali menemuiku lagi, dia kembali menyentuh pundak ku, menyentuh ujung jemariku. Lalu kami terdiam dalam keheningan yang cukup lama. Seketika dia duduk dan menatap mataku dalam.
Dia kembali meneriakkan perasaannya dalam keheningan. Dia kembali menyuarakan perasaannya dalam diam. Lewat tatapannya, aku merasakan kekosongan. Dia melihat, tapi tidak tahu apa yang dia lihat, dia memperhatikan tapi tidak memusatkan pikirannya.
Dia masih terdiam. Masih enggan membuka suara. Ketika ujung jemari kami bersentuhan, dia menundukkan pandangannya dan air mata yang ku khawatirkan keluar justru mengalir deras tanpa ampun dari ujung matanya. Dia masih menundukkan wajahnya, seolah tidak ingin aku melihatnya.
Lalu dia menyentuh tanganku, dengan tatapannya, dia menunjukan perasaannya. Lagi lagi dia datang padaku dengan hancur. Kami tidak bersuara sama sekali, hanya ada keheningan yang menjadi komunikasi kami. Dia masih terus meneteskan air mata yang ku benci itu, dan aku hanya bisa berusaha tersenyum meskipun aku tahu, kami merasakan sakit yang sama.
Kami sama sama hancur, tapi tidak pada tubuh kami. Kami sama sama menangis, tapi menurutnya, dia tidak sama sakitnya denganku. Kami sama sama membutuhkan sebuah pelukan, namun tak satupun dari kami hendak memeluk. Kami sama sama membutuhkan perhatian, namun kami sama sama tidak bersua.
Yang paling aku -dan dia- tahu dengan pasti, perasaan kami sama sama terluka. Dia melihatku, matanya penuh dengan perasaan curiga yang sulit dia ungkapkan. Dia tidak ingin merusak segalanya, begitupula aku. Tapi aku tahu, dia juga tidak bisa terus menerus menahan perasaan dan membendung cairan itu dari matanya. Mungkin kami sama sama mati setelah ini, tapi aku tidak akan membiarkannya menangis lagi.
Lalu dia mendongakan tubuhnya dan menghilang dari pandanganku saat aku membalikkan tubuhku...
Comments
Post a Comment