Skip to main content

Cerita Tentang Matahari - contest version

                Aku membuka album-album foto lamaku. Terpampang fotoku tersenyum lebar sambil menggamit lengan dua sahabatku, Marcell dan Ramdan. Kami mengenakan seragam abu-abu, sepertinya itu hari kelulusan kami. Kucoba mengingat kembali setiap momen yang ku abadikan ditiap lembarnya. Aku tersenyum simpul, malu. Menyadari bahwa aku pernah memiliki tahap dan fase kehidupan yang sedemikian bebasnya. Tanpa sadar, seolah ingatanku mulai memutar kembali film dalam memori ingatanku. Aku terhanyut dibawanya.
Ini adalah sebuah kisah sederhana, namun berarti istimewa karena didalamnya banyak orang yang memiliki tempat khusus dalam bagian tiap ceritanya. Ini adalah sebuah kisah klise, standar, tidak memiliki banyak kekhususan cerita, namun masih menjadi kenangan tersendiri saat aku mengingatnya.
Aku mengenalnya sejak pertama kalinya aku menginjakkan kakiku didepan pintu kelas baruku. Ya, aku sudah memasuki tahap baru, dunia SMA. Dunia yang bagiku adalah kebebasan. Dia, laki-laki yang setelah ku ketahui namanya adalah Ramdan, menyapaku duluan, aku tidak mengenalnya, namun dia terlihat ramah untukku. Kami banyak berbicara, saling mengenal satu sama lain hingga akhirnya menemukan kecocokan. Karena aku pindahan dari luar kota, sikap Ramdan yang sangat welcome ini sangat membantuku dalam mencari teman baru.
Kami duduk sebangku, Ramdan juga ternyata anak yang cerdas. Dia mengerti banyak materi yang diajarkan guru kami. Disamping itu, diapun ramah terhadap seluruh teman sekelas kami. Hanya saja, ia kurang ahli dalam berolahraga. Kami sangat akrab, namun keakraban ini tidak menumbuhkan sedikitpun perasaan lebih dalam perasaanku. Aku sudah menganggapnya seperti abangku sendiri, mungkin oleh karenanya, aku tidak pernah jatuh cinta padanya.
Tahun ajaran baru telah lewat sebulan, tanpa terasa ini tahun terakhirku disekolah. Saat itu, aku sedang mencari Ramdan hingga akhirnya aku bertemu dengan ‘si jagoan lapangan’. Siapa yang tidak mengenalnya, Marcell Angkasatama. Meskipun ia murid pindahan saat kelas 11, namanya langsung tenar di sekolah ini. Atlet basket andalan sekolah ini muncul tiba-tiba dihadapanku. “Hei, lo temennya Ramdan kan? Ramdan sakit, lo tau rumahnya? Temenin gue kesana yuk, gue mau anterin tugas.” Sapanya tanpa basa-basi, apalagi salam perkenalan. Ah tunggu dulu, Ramdan sakit? Kenapa ia tidak memberitahukannya padaku? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika buyar dari pikiranku, saat Marcell memukul pelan kepalaku dengan bola basketnya. Ah ya, aku belum menjawab pertanyaannya. “Iya, gue tau.” Jawabku singkat karena aku memang tidak suka berbasa-basi dengan orang asing. “Okay, pulang nanti lo bareng gue. Oya, kenalin gue Marcell, lo?” ujarnya sambil menjulurkan tangannya. Aku mulai gerah dengan situasi ini, banyak mata memandangku. Ya, salahku memang berbicara dengan ‘raja’ lapangan. “Gue Rena.” Ujarku sambil melengos pergi. Harus ku sudahi pembicaraan ini sebelum aku menjadi santapan lezat mata-mata para penggosip sekolah.
Akhirnya kami pulang bersama. Marcell membawa mobilnya kesekolah. Ya, seisi sekolah tahu dia anak dari keluarga berada. Dan itu terbukti dengan mobil dan segala peralatan yang ia bawa didalamnya. Sepanjang perjalanan, tak ada pembicaraan apapun dari kami. Dia hanya sibuk memutar dan memilih musik di player dalam mobilnya. tiba-tiba kami terjebak macet yang cukup membuat kami kehilangan kesabaran. Tanpa ku duga, Marcell mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam sakunya. Aku sangat terkejut, kupikir anak seperti dia menjaga kesehatannya dengan baik. Ah aku memang sering kali menilai orang lain dengan sebelah mata. “Sorry, lo ga keganggu kan? Gue gatahan, sumpek banget.” Mungkin ia jengah dengan tatapanku yang terlalu lama memperhatikannya. “Iya, santai aja. Lo biasa kaya gini?” Ah, sepertinya aku sudah lelah melakukan aksi bungkam sepanjang perjalanan. “Ga juga, kalo gue bosen atau sedikit stress biasanya gue begini. Tapi cuma sekedar itu aja, gue bukan perokok berat.” Ujarnya. “Ya, gue juga yakin orang seperti lo ga akan ngerusak tubuh lo sendiri dengan racun itu kan?” Tiba-tiba aku merasa seperti mengguruinya. “Iya, basket hidup gue, gue gamau rusak dan berhenti basket cuma gara-gara benda kecil ini.” Jawabnya sambil membuang rokok yang baru dihisapnya setengah itu. “Dan hei, lo tau, lo mengingatkan gue akan seseorang. Dan sorry, cara lo ngomong dan sikap lo, ngingetin gue ke orang itu.” Tiba-tiba Marcell menyentuh tanganku dan terisak. Tentu saja aku terkejut, ”Cell, oke gue ngerti, gue juga ga keberatan lo mau nangis dan cerita ke gue tentang dia. Tapi... orang dibelakang kita udah ribut minta kita buat secepetnya jalan. Jadi...” kataku sengaja menggantungkan kalimat. Marcell tertawa dan langsung memajukan mobilnya.
Dia mulai melanjutkan ceritanya tanpa kuminta. Ia menceritakan kepadaku tentang sahabat kecilnya yang ia panggil Re itu. Re adalah panggilan kesayangan untuk gadis yang –kupikir- memiliki peranan khusus baginya. Ia menceritakan kembali padaku bagaimana senangnya Re, ketika ia tahu bahwa arti namanya adalah Raja Matahari. Dari cerita Marcell, aku tahu bahwa Re sangat akrab dengannya, dan dari ceritanya pula, aku tahu bahwa Re adalah cinta pertama Marcell. “Hm, lalu kenapa lo nangis saat gue terlihat sama seperti Re?” tanyaku penasaran. “Re, dia sekarang sulit gue raih akibat kecelakaan yang gue buat...” Suara Marcell mengecil dan aku sadar, aku telah mengajukan pertanyaan yang terlalu sensitif untuknya. Meskipun aku tak mengerti maksudnya, aku akhirnya berbicara, “Maaf, gue ga bermaksud. Eh itu didepan rumah Ramdan.” Ujarku menyudahi pembicaraan
Aku dan Marcell memasuki rumah Ramdan. Sedikit terkejut, aku melihat Marcell seperti terlihat sangat dekat dengan Ramdan. Aku tahu, Ramdan memang supel namun ia tak pernah menceritakan padaku soal Marcell. Setelah mendengar banyak cerita dari Marcell, aku jadi merasa dekat dengannya.
Ya, benar saja, kami bertiga-pun menjadi akrab. Kami saling mengenal satu sama lain, saling membantu ketika menghadapi kesulitan. Aku merasa tidak lagi asing ketika Marcell mengajariku banyak hal mengenai basket dan mengajakku ke kebun teh –tempat favoritnya- meskipun tanpa ada Ramdan diantara kami.
Suatu siang di Minggu pagi yang cerah, aku menemukan cd cassete ditumpukan buku-buku lamaku ketika aku sedang membereskannya. Penasaran dengan cd itu, tanpa curiga, aku ambil cd tersebut dan ku setelnya dikamarku. Namun, dari cd itu kutemukan suatu hal yang baru ku ketahui. Kepalaku rasanya sakit, aku berusaha mengingat namun hasilnya nihil. Kepalaku makin sakit saat aku memaksanya untuk terus mengingat. Tiba-tiba pandangan mataku memudar, seketika semuanya menjadi hilang dan gelap...
Aku terbangun. Peluh membasahi seluruh tubuhku. Aku sedikit pusing, berusaha berpikir dimana aku berada sekarang. Tiba-tiba mama datang dan menjelaskan padaku bahwa aku berada dirumah sakit. Mama menangis, beliau khawatir denganku. Ah ya, aku ingat! Cd itu. Lalu ku tanyakan pada mama yang sedari tadi memijit dahinya yang mulai berkeriput. “Ma, cd yang Rena temuin tadi, bisa mama jelasin sama Rena?” Mama terlihat sedikit terkejut, namun mama tidak menjawab. Beliau hanya keluar dan meninggalkanku yang sibuk sendiri dengan segala pertanyaanku.
Aku berusaha mengingat kembali. Siapa laki-laki yang mengenakan seragam SMP di video itu? Ia memberiku segala rangkaian bunga matahari, darimana ia tahu? Siapa dia? Ah, kepalaku semakin sakit. Aku masih bisa menguasainya. Lalu kucoba terus berpikir, tapi aku tidak bisa. Ingatanku kacau. Ketika mama masuk, Ramdan ikut masuk menemaninya. Aku sedikit bingung darimana Ramdan bisa tahu. Kulihat Ramdan membawakan bunga matahari untukku.
“Rena, lo udah inget? Gue temen masa lalu lo. Lo mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan lo. Tante Vera ingin gue menjelaskan semuanya ke lo.” ungkap Ramdan. Aku seketika menangis dan Ramdan memelukku. Aku tersenyum dalam tangisku.
Keesokan harinya aku sudah boleh pulang dan beraktifitas seperti biasanya. Aku semakin merasa dekat dengan Ramdan setelah semua pengakuannya. Kami lebih banyak menghabiskan banyak waktu bersama, namun aku merasa janggal dengan keadaan ini. Aku merasa Ramdan tidak mengenaliku, dan aku-pun merasa asing dengan pengakuannya, tapi aku berusaha menepiskan pemikiran itu karena aku ingin percaya padanya.
Hari ujian akhir benar-benar menyita waktuku, aku tidak banyak bertemu dengan Ramdan, tidak lagi sempat pergi ke kebun teh bersama Marcell. Dan kamipun sudah lama sekali tidak berkumpul bertiga, sekedar berbincang hal-hal kecil atau lainnya.
Setelah masa ujian-ujian akhir berakhir, kami memiliki sedikit kebebasan untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, sangat disayangkan Marcell justru terlihat semakin sibuk. Ia jarang sekali bisa berkumpul bersamaku dan Ramdan. Selalu saja ada alasannya untuk tidak hadir bersama kami. Padahal aku ingin sekali menceritakan padanya tentang siapa Ramdan untukku. Ya, Marcell tidak mengetahuinya. Ah, aku merindukannya. Aku merindukan gerimis yang turun dikebun teh saat kami pertama kali datang kesana.
Hari kelulusan telah tiba, kami tidak mencoret-coret seragam kami seperti kebanyakan siswa SMA lainnya. “Hei, sini gue foto bertiga sama raja lapangan kita.” Tiba-tiba Fito, teman sekelasku yang membawa kamera barunya, menarikku dan mengabadikan foto kami bertiga, Ramdan, aku dan Marcell. Kami bahagia sekali telah melepas status kami sebagai murid SMA.
-------
Ku bersihkan lagi album foto yang sedari tadi ku genggam. Kuambil foto kami bertiga dan ku letakkan diatas meja kamarku. Sekilas, aku tersenyum simpul. “Rena, Ramdan menunggumu dibawah.” Mama menyentuh lembut punggungku. Aku bergegas turun untuk menghampiri Ramdan. Ia menepuk bahuku dengan lembut. “Sudah siap? Kita berangkat sekarang ya, takut keburu hujan nantinya.” Ujarnya sembari menuntunku menuju mobilnya.
Kami tiba ditempat ini, sudah terlalu lama sekali aku tidak menginjakkan kakiku ditempat ini. Ya, sebuah kebun teh yang sudah tidak asing lagi kami datangi. Kami bermaksud menemui Marcell. Sudah lama sekali sejak terakhir aku menemuinya. Banyak hal yang ingin ku bicarakan padanya dan aku benar-benar merindukannya.
Seharusnya saat pertama Marcell menangis dihadapanku, aku sudah mengenalinya. Seharusnya saat pertama dia mengajakku ke tempat ini, aku sudah memeluknya. Seharusnya aku sudah sadar akan perasaan janggal ini. Aku kini menyesal. Marcell, ya, dia meminta Ramdan menggantikan posisinya sebagai Marcell kecil-ku. Marcell menginginkanku untuk tidak pernah mengenal Marcell Angkasatama yang ternyata adalah cinta pertamaku.
Harusnya aku sudah tahu sejak pertama kali aku meragukan Ramdan. Harusnya sudah ku pastikan pada Marcell saat aku tau bahwa aku mengalami kecelakaan di lokasi yang sama dengan Marcell. Ah betapa menyesalnya aku. Kini, sudah lima bulan aku tidak bertemu dengannya semenjak kami memulai kehidupan baru didunia kuliah dan membiarkan Marcell mengalami masa sulitnya sendirian. Akankah aku tetap menjadi Re untuknya?
Marcell mengalami lemah jantung akibat shock setelah kecelakaan itu terjadi. Dia membawaku ke kebun teh saat gerimis dengan menggunakan sepeda motornya. Namun kecelakaan itu menimpa kami, gerimis yang turun membuat jalan menjadi licin dan Marcell tak dapat mengendalikan sepeda motornya. Kami terjatuh dan aku mengalami amnesia.
Mama sangat sedih dan tidak ingin lagi mengingat apa yang terjadi di kota kelahiranku itu. Setelah aku dikabarkan amnesia, keluargaku memutuskan untuk pindah ke kota Jakarta dan berharap kesibukan kota ini mampu mengikis kenangan lama yang menyakitkan.
Empat tahun tidak juga ku kenali Marcell, namun ia masih tetap mengingatku, masih berusaha menjagaku dengan Ramdan sebagai perantaranya. Tapi apa yang dapat ku lakukan untuknya? Aku terlalu sibuk dengan urusanku sehingga tidak sempat menjenguk Marcell disaat-saat terakhirnya. Ramdan bilang, mama Marcell sangat berharap aku datang menemuinya, namun beliau tidak menjelaskan apa yang terjadi pada Marcell sehingga aku larut sendiri dalam kesibukanku dan tidak datang menemuinya.
Ramdan menarikku kedalam pelukannya. Aku menangis sejadi-jadinya didepan makam bertuliskan nama Marcell yang tanahnya-pun masih segar. Aku kehilangan Marcell untuk kedua kalinya. Ku letakkan bunga matahari kesukaan kami berdua didekat nisannya. Lalu aku berjalan untuk kembali pulang.
Kini aku sadar, Marcell-lah yang sulit untuk kuraih. Namun ketika gerimis pertama mulai menyentuhku, aku tahu Marcell selalu bersamaku. Sambil berjalan menuju mobil Ramdan, kubuka perlahan surat pemberian Marcell yang telah ia titipkan pada Ramdan. Sebuah puisi yang indah,
Re, matahariku...
Saat malam, aku bernyanyi untukmu, namun kamu tidak bernyanyi bersamaku.
Lalu kucoba untuk menarikan sebuah tarian kerinduan, namun kamu juga tak hadir menemaniku.
Sampai pada akhirnya, aku tersadar...
Jika aku ingin menemuimu, aku hanya bisa menjadi angin awan putih yang meneduhkanmu dan memperhatikanmu dalam diamku.
Lalu kucoba menjadi langit, aku ingin bersatu bersamamu menjadi semburat senja. Namun gerakmu terlalu cepat hingga berganti malam.
Matahariku,
Gerimis selalu mengingatkanku tentangmu. Tentang kesalahanku.
Aku menerima jika Tuhan menghukumku seperti ini. Namun dilupakan olehmu, itu adalah hukuman terberat yang harus ku jalani.
Kamu tau mengapa aku menyukai dan semakin jatuh cinta pada terik matahari? Karena aku merasa dapat berhubungan langsung denganmu.
Dimanapun aku nanti, berjanjilah padaku akan satu hal...
Tetaplah menjadi matahariku yang selalu menerangi sekalipun gerimis hadir dihadapanmu...

 Lalu ku simpan kembali surat darinya dan melanjutkan perjalananku bersama sahabat terbaikku, Ramdan. Gerimis yang turunpun semakin lebat membasahi tanah favorit kami berdua. Aku dan Marcell.

Comments