Aku merasakan kerinduan masa lalu yang tak lagi terobati. Sekali lagi, lukaku tak berdarah, tapi hitamku mampu menggelapkan langit biru. Aku berjalan beriringan dengan luka pada setiap langkahku. Aku menjerit dalam keheningan malam pembius kegundahan, aku terjebak dalam dua labirin.
Aku melihat ke sekeliling, mencari cahaya penerang penembus hitamku, tapi hitamku terlalu tebal, terlalu menutup semua yang bisa ku jadikan transparan. Aku kembali berjalan, tersenyum menatap lorong dalam labirin. Aku menangis dalam senyuman. Ini jauh lebih sakit, ya! Lebih sakit dibanding jika aku harus memilih lorong yang gelap dan tak bisa ku baca.
Aku melihat masa lalu di depanku, membawaku menuju petaka, membawaku menuju kehancuran. Ya, mawar merah yang ku cium ternyata menusuk dan beracun. Bukan, aku takkan memilih ini, aku takkan membuat diriku kehilangan perisai lagi.
Ku alihkan pandanganku pada keindahan. Masih masa lalu. Aku begitu menyukai waktu yang pernah terlewat dibandingkan kado yang terbungkus pita merah. Cantik tapi penuh kejutan.
Aku sangat merindukan waktuku. Waktu yang pernah ku habiskan percuma. Aku mendengar nyanyian pengharapan dan tarian kerinduan yang terus berdengung kencang tanpa suara. Aku membuka kembali ingatan tentang labirin, aku kembali sadar bahwa aku dipilih bukan untuk disakiti, bukan?
Dan aku kembali tersenyum..
Comments
Post a Comment